Sejarah
A.Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Rembang
Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Rembang berdasarkan Stbl. 1882 No.152 dan 153 untuk Jawa Madura dengan nama Raad Agama lahir di Indonesia (Jawa Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan raja Belanda (Koninklijk Besluit), yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 nomor 152, di mana ditetapkan satu peraturan tentang peradilan agama dengan nama “Piesterraden” untuk Jawa dan Madura. Dalam bahasa Belanda disebut “Bepaling betreffende de Priesteraden op Java en Madoera” atau disingkat dengan nama Priesterraad (Raad Agama). Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 termuat dalam Staatsblad 1882 nomor 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanggal kelahiran Pengadilan Agama di Indonesia adalah tanggal 1 Agustus 1882.
Aturan ini, menurut Bruinessen, muncul dari kejumbuhan tugas yang dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal di satu sisi, dan Mahkamah Agung (Hooggerechtshof van Nederlandsch Indie) di sisi lain. Bruinessen menerangkan bahwa di Lebak, pada tahun 1863, terjadi pertikaian wewenang mengadili antara Pengadilan Agama (Raad Agama) dan Pengadilan Negeri (Landraad) dalam perkara waris. Perjalanan kehidupan sejarah pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah.
Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Kerajaan Islam Pasal yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke 13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten. Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia (Muchtar Zarkasyi : 21)
Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota - kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak, sehingga norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam makin diperlukan. Hal ini nampak jelas dari proses pembentukan lembaga peradilan yang berdasarkan hukum Islam tersebut yakni Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta ‘zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat).Bila tidak ada Imam, maka penyerahan wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat oleh ahlu al-hally wa al-aqdi (lembaga yang mempunyai otoritas menentukan hukuman), yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan kesepakatan.
Tauliyah dari Imamah pada dasarnya peradilan yang didasarkan atas pelimpahan wewenang atau delegation of authority dari kepala negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan tertentu. Dengan mengikuti ketiga proses pembentukan peradilan tersebut di atas, dapatlah diduga bahwa perkembangan qadla al- syar’i (peradilan agama) di Indonesia dimulai dari periode TAHKIM,yakni pada permulaan Islam menginjakkan kakinya di bumi Indonesia dan dalam suasana masyarakat sekeliling belum mengenal ajaran Islam, tentulah orang-orang Islam yang bersengketa akan bertahkim kepada ulama yang ada. Kemudian setelah terbentuk kelompok masyarakat Islam yang mampu mengatur tata kehidupannya sendiri menurut ajaran barn tersebut atau di suatu wilayah yang pemah diperintah raja-raja Islam, tetapi kerajaan itu punah karena penjajahan, maka peradilan Islam masuk ke dalam periode tauliyah (otoritas hukum) oleh ahlu al-hally wa al- aqdi. Keadaan demikian ini jelas terlihat di daerah-daerah yang dahulu disebut daerah peradilan adat, yakni het inheemscherechtdpraak in rechtsstreeks bestuurd gebied atau disebut pula adatrechtspraak. Tingkat terakhir dari perkembangan peradilan agama adalah periode tauliyah dari imamah (otoritas hukum yang diberikan oleh penguasa), yakni setelah terbentuk kerajaan Islam,maka otomatis para hakim diangkat oleh para raja sebagai wali al-amri (Daniel S. Lev: 1-2).
Pengadilan Agama di masa raja-raja Islam diselenggarakan oleh para penghulu, yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat. Sidang - sidang pengadilan agama pada masa itu biasanya berlangsung di serambi masjid, sehingga pengadilan agama sering pula disebut “Pengadilan Serambi”. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di seluruh Nusantara, yang kebanyakan menempatkan jabatan keagamaan, penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum.Kelembagaan Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarah perkembangannya, kelembagaan peradilan agama mengalami pasang surut. Pada masa kekuasaan kerajaan Islam lembaga peradilan agama termasuk bagian yang tak terpisahkan dengan pemerintahan umum, sebagai penghulu kraton yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan. Pada masa pemerintahan VOC, kelembagaan peradilan agama akan dihapuskan dengan membentuk peradilan tersendiri dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda, namun kelembagaan ini tidak dapat betjalan karena tidak menerapkan hukum Islam. Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk “excecutoire verklaring” (pelaksanaan putusan). Pengadilan Agama tidak berwenang untuk menyita barang dan uang (Daud Ali : 223). Dan tidak adanya kewenangan yang seperti ini terns berlangsung sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a yang disebut dengan “preisterraacf’ tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi: 2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia (Daniel S Lev: 35-36). Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahlbadan yang besnat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3). Usaha untukmenghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37)
Dengan keluarnya Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan Agama mulai nampakjelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Us aha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 ten tang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat sekelilingnya. Hal itu sudah dapat dilihat sejak dari proses pertumbuhan peradilan agama sebagai-mana disebut di atas. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu keraton sebagai pemimpin keagamaan Islam di lingkungan keraton yang membantu tugas raja di bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti KaBjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pemah mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905. Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti: KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang, KH.Musta’in Penghulu Tuban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dati alumni IAIN dan perguruan tinggi agama
B.Sejarah Berdirinya Kantor Pengadilan Agama Rembang
Kantor Pengadilan Agama Rembang terletak di Jalan Pemuda Km.3 Rembang, Nomor telepon: (0295) 691325, dibangun pada tahun 1984 luas bangunan 304 m², diatas tanah hak milik Pengadilan Agama Rembang yang sudah bersertifikat luas tanah 2460 m². Kemudian dilakukan rehabilitasi dan perbaikan-perbaikan, kemudian pada tahun 2003 dan tahun 2004 diatas tanah tersebut dibangun sebuah lokasi bangunan ukuran 10 m X 12 m untuk ruang sidang dan ruang Hakim, dan sebuah lokasi bangunan ukuran 12 m X 8 m untuk ruang arsip perkara dan ruang perpustakaan.
Tentang sejarah asal muasal berdirinya Pengadilan Agama Rembang tidak dapat diketahui secara detail. Namun jika dilihat dari peninggalan sejarah berupa daftar ketua Pengadilan Agama yang ada maka dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama Rembang sudah menjalankan fungsinya sejak tahun 1912. Secara lebih jelas mengenai sejarah pergantian Ketua Pengadilan Agama Rembang dapat penulis paparkan sebagai berikut:
1.Tahun 1919 sampai dengan 1922 yang menjabat Penghulu Landraad, (Ketua Pengadilan Agama) adalah Djaenal Minhad.
2.Tahun 1922 sampai dengan 1925 yang menjabat Penghulu Landraad (Ketua Pengadilan Agama) adalah H. Ibrahim.
3.Tahun 1925 sampai dengan 1938 yang menjabat Penghulu Landraad (Ketua Pengadilan Agama) adalah KH. Machrowi.
4.Tahun 1938 sampai dengan 1951 yang menjabat Penghulu Landraad (Ketua Pengadilan Agama) adalah Mas Muhammad Mustamin.
5.Tahun 1951 sampai dengan 1952 yang menjabat Penghulu Landraad (Ketua Pengadilan Agama) adalah KH. Bisri Musthofa (selama 1 tahun).
6.Tahun 1952 yang menjabat Penghulu Landraad (Ketua Pengadilan Agama) adalah Kyai Masyhud (selama 4 bulan).
7.Tahun 1952 sampai dengan 1953 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah Kyai Ahmad Mukammad (selama 1 bulan).
8.Tahun 1953 sampai dengan 1955 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah R. Ngabei Tjokro Suyitno.
9.Tahun 1955 sampai dengan 1956 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah KH. Ichsan.
10.Tahun 1956 sampai dengan 1959 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah KH. Dachlan.
11.Tahun 1959 sampai dengan 1964 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah KH. Muchammadun.
12.Tahun 1964 sampai dengan 1973 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah KH. Hafidz.
13.Tahun 1973 sampai dengan 1976 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah KH. Mundhir.
14.Tahun 1976 yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas sebagai Ketua adalah KH. F. Basyuni Masykur (selama 4 bulan) beliau adalah sebagai Wakil Ketua.
15.Tahun 1976 sampai dengan 1980 yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama adalah Suparjo Darsohartono.
16.Tahun 1980 sampai dengan 1982 yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama adalah Drs. Duror Manshur.
17.Tahun 1982 sampai dengan 1994 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah H. Amin Ichsan.
18.Tahun 1994 sampai dengan 1998 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama adalah Drs. Nashan Basri, SH.
19.Tahun 1998 sampai dengan 1999 yang menjabat sebagai PLT Ketua adalah Dra. Hj. Faizah (selama 4 bulan).
20.Tahun 1999 sampai dengan 2001 yang menjabat Ketua adalah Drs. Miftahuddin.
21.Tahun 2001 (mulai melaksanakan tugas Januari 2002) sampai dengan Tahun 2006 adalah Dra. Hj. Faizah.
22.Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2007 yang menjabat PLT Ketua adalah Drs. H. Endang Kusnadi, SH
23.Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2010 yang menjabat Ketua Pengadilan Agama Rembang adalah Drs. H. Zaenal Hakim, SH.
24.Tahun 2010 sampai dengan 2012 yang menjabat Ketua adalah Drs. H. Aniz Fuadz, S.H.
25.Tahun 2012 sampai dengan 2014 yang menjabat Ketua adalah Drs. H. Jojo Suharjo, S.H.
26.Tahun 2014 sampai dengan 2016 yang menjabat Ketua adalah Drs. H. Ilham Suhrowardi, M.H.
27.Tahun 2016 sampai dengan 2018 yang menjabat Ketua adalah Drs. H. Qosim, S.H., M.S.I.
28.Tahun 2018 sampai dengan 2019 yang menjabat Ketua adalah Drs. H. Mahzumi, M.H.
29.Tahun 2019 sampai dengan 2020 yang menjabat Ketua adalah Drs. H. Soleman, M.H.
30.Tahun 2020 sampai dengan 2022 yang menjabat Ketua adalah Drs. Zakiruddin.
31.Tahun 2022 sampai dengan 2023 yang menjabat Ketua adalah M. Safi’i, S.Ag.,M.H.
32.Tahun 2023 sampai dengan 2024 yang menjabat Ketua adalah Gita Febrita, S.H.I., M.H.
33.Tahun 2024 sampai dengan sekarang yang menjabat Ketua adalah Firdaus Muhammad, S.H.I., M.H.I.
Dari uraian singkat tentang sejarah perkembangan peradilan agama tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan agama bercita-cita untuk dapat memberikan pengayoman dan pelayanan hukum kepada masyarakat.